Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia
berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia
melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan ia bertemu dengan
seekor belalang lain. Namun ia keheranan kenapa belalang itu bisa
melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, “Mengapa kau
bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh
berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh?”
Belalang itupun menjawabnya, “Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena
semua belalang yang hidup dialam bebas pasti bisa melakukan seperti yang
aku lakukan”.Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak
itulah yang selama ini membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi
belalang lain yang hidup di alam bebas.
Kadang-kadang kita sebagai manusia tanpa sadar pernah juga mengalami hal
yang sama dengan belalang. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa
lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman, atau pendapat tetangga,
seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua
kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang
mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah kamu separah
itu? Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih untuk mempercayai
mereka daripada mempercayai diri sendiri.
Tidakkah kamu pernah mempertanyakan kepada hati nurani bahwa kamu bisa
“melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau kamu mau menyingkirkan
“kotak” itu? Tidakkah kamu ingin membebaskan diri agar kamu bisa
mencapai sesuatu yang selama ini kamu anggap diluar batas kemampuan
kamu?
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang,
tidak hanya menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu
teman, teruslah berusaha mencapai apapun yang kamu ingin capai. Sakit
memang, lelah memang, tetapi bila kamu sudah sampai kepuncak, semua
pengorbanan itu pasti terbayar.
Kehidupan kamu akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan
kamu. Bukan cara hidup yang seperti mereka pilihkan untuk kamu…
Suatu hari seorang anak dan ayahnya sedang duduk berbincang-bincang
ditepi sungai. Kata ayah kepada anaknya, “Lihatlah anakku, air begitu
penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan mati.”
Pada saat yang bersamaan seekor ikan kecil mendengarkan percakapan itu
dari bawah permukaan air, ia mendadak menjadi gelisah dan ingin tahu
apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini. Ikan
kecil ini berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya
kepada setiap ikan yang ditemuinya. “ Hai, tahukah kamu dimana air itu?
Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan
mati.”
Ternyata semua ikan tidak ada yang mengetahui dimana air itu, si ikan
kecil mulai gelisah, lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu
dengan ikan sepuh yang sudah berpengalaman, kepada ikan sepuh itu, ikan
kecil ini menanyakan hal yang serupa, Dimanakah air itu?”
Jawaban ikan sepuh adalah, “Tak usah gelisah anakku, air itu telah
mengelilingimu, sehingga bahkan kamu tidak menyadari kehadirannya.
Memang benar, tanpa air kita akan mati.”
Apa arti cerita tersebut diatas? Manusia kadang-kadang mengalami situasi
seperti si ikan kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan
kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya, kebahagiaan sedang
melingkupinya sampai-sampai tidak menyadarinya.
Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah,
hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya.
Walaupun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati
kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak
mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja
di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk
menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak
memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik
aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya
seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela
lembut. "Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung
diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal
setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang
untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang
lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara
lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang
tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan
rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain.
Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak
dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari
pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda,
karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan
untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong
jangan mati di sini."
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir,
"Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka
menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap
rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat.
Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku
harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula
bermanfaat bagi makhluk lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di dapur
memasak dan menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang
ditunggu, betapa kecewa hati si Putri, meja makan kosong, tidak tampak
sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana. Putri kesal,
marah, dan jengkel.
"Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang
tahun anaknya sendiri, sungguh keterlaluan," gerutunya dalam hati. "Ini
semua pasti gara-gara adinda sakit semalam sehingga ibu lupa pada ulang
tahun dan makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"
Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi
kepadanya. Tidak ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi
kado untuknya.
Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu
saja. Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya
berjalan sembarangan. Saat melewati sebuah gerobak penjual bakso dan
mencium aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar perutnya! Dia
menatap nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
"Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.
"Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang super enak."
Putri pun segera duduk di dalam.
Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si abang.
"Saya jadi ingat ibu saya, bang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun
saya. Malah abang, yang tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku
sendiri tidak ingat hari ulang tahunku apalagi memberi makanan
kesukaanku. Saya sedih dan kecewa, bang."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng
terharu sampai nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih
makan tiap hari, dari neng bayi sampai segede ini, apa neng pernah
terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar nyesel
lho."
Putri seketika tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"
Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri
bergegas pergi. Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat,
wajah cemas sekaligus lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu
ke mana. Putri, selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan
kesukaan Putri. Putri pasti lapar kan? Ayo nikmati semua itu."
"Ibu, maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan
ibunya. Dan yang membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah
hadir pula sahabat-sahabat baik dan paman serta bibinya. Ternyata ibu
Putri membuatkan pesta kejutan untuk putri kesayangannya.
Guys,
Saat kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun
dari orang lain, sering kali kita begitu senang dan selalu berterima
kasih. Sayangnya, kadang kasih dan kepedulian tanpa syarat yang
diberikan oleh orangtua dan saudara tidak tampak di mata kita. Seolah
menjadi kewajiban orangtua untuk selalu berada di posisi siap membantu,
kapan pun.
Bahkan, jika hal itu tidak terpenuhi, segera kita memvonis, yang tidak
sayanglah, yang tidak mengerti anak sendirilah, atau dilanda perasaan
sedih, marah, dan kecewa yang hanya merugikan diri sendiri. Maka untuk
itu, kita butuh untuk belajar dan belajar mengendalikan diri, agar kita
mampu hidup secara harmonis dengan keluarga, orangtua, saudara, dan
dengan masyarakat lainnya.
Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran
karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan,
seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Kak, beli kue kak, masih
hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak
menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke
kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Kak."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali.
Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual
kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar
restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada
di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit
tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu
berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang.
Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis
itu?"
"Kak, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya
untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri,
bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu
pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Kakak bukan
hasil dari menjual kue. Tadi kakak bilang, uang sedekah, maka uangnya
saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti.
"Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk
oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda,
dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Kak.
Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan
itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
Guys,
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan
TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental!
Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari
orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di
dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang
telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter
itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita
ukir dengan gemilang.
Alkisah, ada seorang pedagang kaya yang merasa dirinya tidak bahagia.
Dari pagi-pagi buta, dia telah bangun dan mulai bekerja. Siang hari
bertemu dengan orang-orang untuk membeli atau menjual barang. Hingga
malam hari, dia masih sibuk dengan buku catatan dan mesin hitungnya.
Menjelang tidur, dia masih memikirkan rencana kerja untuk keesokan
harinya. Begitu hari-hari berlalu.
Suatu pagi sehabis mandi, saat berkaca, tiba-tiba dia kaget saat
menyadari rambutnya mulai menipis dan berwarna abu-abu. "Akh. Aku sudah
menua. Setiap hari aku bekerja, telah menghasilkan kekayaan begitu
besar! Tetapi kenapa aku tidak bahagia? Ke mana saja aku selama ini?"
Setelah menimbang, si pedagang memutuskan untuk pergi meninggalkan semua
kesibukannya dan melihat kehidupan di luar sana. Dia berpakaian
layaknya rakyat biasa dan membaur ke tempat keramaian.
"Duh, hidup begitu susah, begitu tidak adil! Kita telah bekerja dari
pagi hingga sore, tetapi tetap saja miskin dan kurang," terdengar
sebagian penduduk berkeluh kesah.
Di tempat lain, dia mendengar seorang saudagar kaya; walaupun harta
berkecukupan, tetapi tampak sedang sibuk berkata-kata kotor dan memaki
dengan garang. Tampaknya dia juga tidak bahagia.
Si pedagang meneruskan perjalanannya hingga tiba di tepi sebuah hutan.
Saat dia berniat untuk beristirahat sejenak di situ, tiba-tiba
telinganya menangkap gerak langkah seseorang dan teriakan lantang,
"Huah! Tuhan, terima kasih. Hari ini aku telah mampu menyelesaikan
tugasku dengan baik. Hari ini aku telah pula makan dengan kenyang dan
nikmat. Terima kasih Tuhan, Engkau telah menyertaiku dalam setiap
langkahku. Dan sekarang, saatnya hambamu hendak beristirahat."
Setelah tertegun beberapa saat dan menyimak suara lantang itu, si
pedagang bergegas mendatangi asal suara tadi. Terlihat seorang pemuda
berbaju lusuh telentang di rerumputan. Matanya terpejam. Wajahnya begitu
bersahaja.
Mendengar suara di sekitarnya, dia terbangun. Dengan tersenyum dia menyapa ramah, "Hai, Pak Tua. Silahkan beristirahat di sini."
"Terima kasih, Anak Muda. Boleh bapak bertanya?" tanya si pedagang.
"Silakan."
"Apakah kerjamu setiap hari seperti ini?"
"Tidak, Pak Tua. Menurutku, tak peduli apapun pekerjaan itu, asalkan
setiap hari aku bisa bekerja dengan sebaik2nya dan pastinya aku tidak
harus mengerjakan hal sama setiap hari. Aku senang, orang yang kubantu
senang, orang yang membantuku juga senang, pasti Allah juga senang di
atas sana. Ya kan? Dan akhirnya, aku perlu bersyukur dan berterima kasih
kepada Allah atas semua pemberiannya ini".
Teman-teman,
Kenyataan di kehidupan ini, kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sebesar
apapun tidak menjamin rasa bahagia. Bisa kita baca kisah hidup seorang
maha bintang Michael Jackson yang meninggal belum lama ini, yang
berhutang di antara kelimpahan kekayaannya. Dia hidup menyendiri dan
kesepian di tengah keramaian penggemarnya; tidak bahagia di tengah hiruk
pikuk bumi yang diperjuangkannya.
Entah seberapa kontroversial kehidupan Jacko. Tetapi, yah... setidaknya,
dia telah berusaha berbuat yang terbaik dari dirinya untuk umat manusia
lainnya.
Mari, jangan menjadi budaknya materi. Mampu bersyukur merupakan
kebutuhan manusia. Mari kita berusaha memberikan yang terbaik bagi diri
kita sendiri, lingkungan kita, dan bagi manusia-manusia lainnya.
Sehingga, kita senantiasa bisa menikmati hidup ini penuh dengan
sukacita, syukur, dan bahagia.
Di sebuah rumah sakit bersalin, seorang ibu baru saja melahirkan jabang bayinya.
"Apakah saya bisa melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru
melahirkan. Raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan. Namun, ketika
gendongan berpindah tangan dan si ibu membuka selimut yang membungkus
wajah bayi lelaki mungilnya, ia terlihat menahan napas. Dokter yang
menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit,
tak tega melihat perubahan wajah si ibu.
Bayi sang ibu ternyata dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Meski
terlihat sedikit kaget, si ibu tetap menimang bayinya dengan penuh kasih
sayang.
Waktu membuktikan, bahwa pendengaran putranya ternyata bekerja dengan
sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu
hari, anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya
di pelukan si ibu sambil menangis. Ibu itu pun ikut berurai air mata. Ia
tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Sambil
terisak, anak itu bercerita, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku.
Katanya, aku ini makhluk aneh."
Begitulah, meski tumbuh dengan kekurangan, anak lelaki itu kini telah
dewasa. Dengan kasih sayang dan dorongan semangat orangtuanya, meski
punya kekurangan, ia tumbuh sebagai pemuda tampan yang cerdas. Rupanya,
ia pun pandai bergaul sehingga disukai teman-teman sekolahnya. Ia pun
mengembangkan bakat di bidang musik dan menulis. Akhirnya, ia tumbuh
menjadi remaja pria yang disegani karena kepandaiannya bermusik.
Suatu hari, ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa
mencangkokkan telinga. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang
telinga untuk putra Bapak. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia
mendonorkan telinganya," kata dokter. Maka, orangtua anak lelaki itu
mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya
kepada anak mereka.
Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak
lelaki itu, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia
mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah
sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata
si ayah.
Operasi berjalan dengan sukses. Ia pun seperti terlahir kembali.
Wajahnya yang tampan, ditambah kini ia sudah punya daun telinga, membuat
ia semakin terlihat menawan. Bakat musiknya yang hebat itu berubah
menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.
Beberapa waktu kemudian, ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang
diplomat. Ia lantas menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa
yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat
sesuatu yang besar, namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."
Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati
orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya
melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk
mengetahui semua rahasia ini."
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia.
Hingga suatu hari, tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga
tersebut. Pada hari itu, ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti
jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, si
ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku. Sang ayah lantas
menyibaknya sehingga sesuatu yang mengejutkan si anak lelaki terjadi.
Ternyata, si ibu tidak memiliki telinga.
"Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan
rambutnya," bisik si ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah
kehilangan sedikit kecantikannya, ‘kan?"
Melihat kenyataan bahwa telinga ibunya yang diberikan pada si anak,
meledaklah tangisnya. Ia merasakan bahwa cinta sejati ibunya yang telah
membuat ia bisa seperti saat ini.
Guys,
Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh, namun ada
di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa
terlihat, namun justru pada apa yang kadang tidak dapat terlihat.
Begitu juga dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Di sana selalu ada
inti sebuah cinta yang sejati, di mana terdapat keikhlasan dan ketulusan
yang tak mengharap balasan apa pun.
Dalam cerita di atas, cinta dan pengorbanan seorang ibu adalah wujud
sebuah cinta sejati yang tak bisa dinilai dan tergantikan. Cinta sang
ibu telah membawa kebahagiaan bagi sang anak. Inilah makna sesungguhnya
dari sebuah cinta yang murni. Karena itu, sebagai seorang anak, jangan
pernah melupakan jasa seorang ibu. Sebab, apa pun yang telah kita
lakukan, pastilah tak akan sebanding dengan cinta dan ketulusannya
membesarkan, mendidik, dan merawat kita hingga menjadi seperti sekarang.
Mari, jadikan ibu kita sebagai suri teladan untuk terus berbagi
kebaikan. Jadikan beliau sebagai panutan yang harus selalu diberikan
penghormatan. Sebab, dengan memperhatikan dan memberikan kasih sayang
kembali kepada para ibu, kita akan menemukan cinta penuh ketulusan dan
keikhlasan, yang akan membimbing kita menemukan kebahagiaan sejati dalam
kehidupan.
Alkisah, ada seorang pemuda dari keluarga yang miskin yang rumah
tinggalnya sering berpindah-pindah, karena ia hanya bisa mengontrak.
Dalam hidup, keinginan terbesarnya adalah memiliki rumah sendiri. Karena
itu, saat menikah, dia memaksa dirinya membeli rumah dengan cicilan
selama 20 tahun. Akibatnya, dengan gajinya yang relatif kecil, ia harus
mengatur pengeluarannya sedemikian rupa, sehemat mungkin, agar kebutuhan
hidup bersama keluarganya tetap bisa tercukupi.
Maka, sejak saat itu, kehidupan keluarga pemuda itu terpola dengan
sangat hemat, irit, dan tanpa keleluasaan sedikit pun untuk bersantai.
Si pemuda, sebagai kepala keluarga, sangat ketat mengatur segala sesuatu
agar cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari keluarga itu
dilingkupi suasana tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam
pengeluaran uang.
Waktu pun terus berjalan. Pada suatu ketika, ibu pemuda tadi menyatakan
keinginan kepada anaknya, “Anakku, keinginan ibu sebelum meninggal
adalah kita bisa pergi berjalan-jalan ke daerah yang ibu sukai. Ibu
mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk menambahkan
kekurangannya?”
”Sabar Bu, jangan sekarang. Bukankah kita harus berhemat, irit, mengatur
sedetail mungkin pengeluaran kita agar bisa tetap membayar cicilan
rumah?” jawab si pemuda setiap kali ditanyai ibunya.
Begitulah, saking ketatnya mengatur pengeluaran, saat sang istri
mengajak pergi keluar untuk sekadar bersantai pun, pemuda itu tidak
menggubrisnya. Bahkan hanya sekadar makan keluar ke restoran bersama
keluarga pun, selalu dijawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja, yakni
’harus berhemat untuk membayar cicilan rumah’. Alasan ini juga berlaku
untuk anaknya. Saat si anak merengek minta uang jajan atau dibelikan
mainan, dengan tegas si pemuda menolak semua keinginan anaknya.
Istri dan keluarganya akhirnya mulai tertekan dan jenuh dengan keadaan
seperti itu. Hari-hari pun berlalu dengan monoton dan penuh dengan
stres. Tak ada lagi nuansa kebahagiaan yang menyelimuti keluarga itu.
Tanpa terasa, 20 tahun kemudian, cicilan rumah telah selesai. Rumah itu
telah sepenuhnya menjadi milik pemuda tadi. Namun, ketika rumah itu
benar-benar telah menjadi miliknya, ternyata ia tidak bahagia. Ia bahkan
merasa telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga. Saat itu,
rumah yang ditempati hanyalah sebentuk bangunan, tanpa ada apa-apa lagi
di dalamnya, tanpa kehangatan dan tanpa kebahagiaan. Si pemuda tinggal
seorang diri di situ. Istri dan anaknya telah pergi, meninggalkan dia.
Ibu pemuda itu pun sudah meninggal dunia beberapa tahun silam, tanpa
pernah terkabul permintaan terakhirnya.
Kini, hidup terasa hampa, dingin, dan kosong baginya. Laki-laki itu
tidak mengerti, kenapa saat tujuan hidup yang diagungkan tercapai, saat
sertifikat kepemilikan rumah ada di tangannya, justru cinta, kehangatan,
dan kebahagiaan pergi meninggalkannya begitu saja!
Teman-teman,
Kekayaan materi sering kali dipandang sebagai standar kesuksesan. Namun
kenyataannya, tidak sedikit orang yang kaya materi tidak bahagia
kehidupannya. Tidak ada cinta dan kehangatan di dalam rumah mewah yang
dimilikinya. Sebaliknya, banyak pula orang yang tidak berkelimpahan
harta tetapi bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia bersama dengan
seluruh keluarganya.
Jika kita punya cita-cita menghasilkan kekayaan yang berlimpah, sah sah
saja kok. Namun, apa artinya semua materi yang kita dapatkan, jika kita
harus kehilangan kebahagiaan dari orang-orang yang kita cintai seperti
cerita di atas? Apalagi alasan untuk mengejar semua keinginan itu lahir
dari perasaan iri atau tidak mau kalah dengan orang lain, sehingga akan
memunculkan pemaksaan di luar kemampuan kita, yang pada akhirnya membuat
kita menderita.
Maka, jangan paksakan sesuatu yang tidak pantas dipaksakan kalau hanya penyesalan dan penderitaan yang akan kita alami.
Mari teman-teman, tetaplah berjuang dan bekerja keras mewujudkan impian
kita! Namun gunakan cara positif dan pola pikir yang benar dan seimbang,
agar hidup bisa lebih bermakna bersama dengan keluarga dan orang-orang
yang kita cintai.
Di sebuah kerajaan, karena kesibukan sang raja memerintah, permaisurilah
yang menemani dan sangat memanjakan sang pangeran. Pangeran tumbuh
menjadi pemuda yang sombong, egois, kurang sopan santun, dan malas
belajar. Raja sangat sedih memikirkan sikap pangeran muda. Bagaimana
nasib negeri ini nantinya?
Setelah berbincang dengan permaisuri, raja pun bertitah: “Anakku, tahta
kerajaan akan ayah serahkan kepadamu, tetapi dengan syarat engkau harus
tinggal dan belajar selama 1 tahun di atas bukit bersama seorang guru
yang telah ayah pilih. Bila engkau gagal, maka tahta kerajaan akan ayah
serahkan kepada orang lain.”
Pangeran serta merta menyanggupi persyaratan itu. Dalam hati ia berkata,
“Apalah artinya penderitaan 1 tahun dibandingkan kelak sebagai raja,
aku bisa hidup mewah dan bersenang-senang seumur hidupku!”
Setibanya di kediaman sang guru, tingkah laku pangeran tetap sombong,
menyebalkan, dan tidak sopan. Dia merasa sebagai pangeran, semua orang
harus menuruti kemauannya. Setiap kali gurunya bertanya, pangeran
menjawab semaunya. Setiap kali gurunya menerangkan pelajaran, pangeran
tidak mendengarkan—merasa sudah tahu semua.
Tidak terasa haripun berganti minggu. Sang guru berpikir keras tentang
cara untuk memberi pelajaran kepada pangeran yang sombong dan sok pintar
itu.
Suatu hari, sang guru menyeduh teh dan menuangkan ke cangkir pangeran.
Air teh dituang terus dan terus hingga tumpah ke mana-mana sehingga
mengenai tangan sang pangeran. Pangeran berteriak marah, “Hai, bodoh
sekali! Menuang teh saja tidak becus! Cangkir sudah penuh mengapa masih
dituang terus? Air mendidih, lagi!”
Dengan tersenyum sang guru berkata tegas, “Beruntung hanya tangan
pengeran yang terkena percikan teh panas. Sebagai seorang pangeran,
calon raja dan suri tauladan bagi rakyatnya, tidak sepantasnya berkata
tidak sopan seperti itu, lebih-lebih kepada gurunya sehingga sepantasnya
mulut pangeranlah yang harus dituang teh panas ini.
Aku sengaja menuang terus cangkir yang telah terisi penuh karena ingin
mengajarkan kepada Yang Mulia bahwa cangkir teh diumpamakan sama seperti
otak manusia. Bila telah terisi penuh maka tidak mungkin diisi lagi.
Karenanya kosongkan dulu cangkirmu, kosongkan pikiranmu, agar bisa diisi
hal-hal baru yang positif. Hanya bekal ini yang ingin guru sampaikan.
Bila pangeran tidak berkenan, silakan pergi dari sini.”
Mendengar perkataan sang gurunya yang tegas, pangeran seketika tertunduk
malu. Peristiwa itu menyadarkan pangeran untuk mengubah sikapnya dan
menerima pelajaran dari gurunya. Tentu saja perubahan sikap pengeran ini
membuat raja sangat bergembira.
Teman-teman,
Karena status, pendidikan, atau kedudukan, seringkali seseorang merasa
lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih pintar dari orang lain. Sikap
seperti ini membuat pikiran tertutup (atau mental block), sulit menerima
hal-hal baru yang diberikan oleh orang lain.
Sikap seperti ini jelas merugikan diri sendiri. Jika kita mau dan bisa
bersikap terbuka dalam menerima hal-hal baru serta mau menerima kritikan
membangun yang diberikan oleh orang lain, maka kita akan dapat memetik
banyak keuntungan; seperti bertambahnya wawasan, ide, pengetahuan,
pengertian, wisdom, dan lain sebagainya. Pasti semua itu bisa kita
manfaatkan untuk mengembangkan dan menciptakan kesuksesan.
Pada masa perang dunia kedua, tepatnya bulan Mei Tahun 1952, seorang
jenderal kenamaan, Douglas Mac Arthur, menullis sebuah puisi untuk putra
tercintanya yang saat itu baru berusia 14 tahun. Puisi tersebut
mencerminkan harapan seorang ayah kepada anaknya. Ia memberi sang anak
puisi indah yang berjudul "Doa untuk Putraku" Inilah isi puisi tersebut:
Doa untuk Putraku
Tuhanku...
Bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui
kelemahannya. Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam
ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan.
Tetap Jujur dan rendah hati dalam kemenangan.
Bentuklah puteraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Seorang Putera yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.
Tuhanku...
Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak.
Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan
dan tantangan.
Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar
untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.
Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi, sanggup memimpin
dirinya sendiri, sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.
Berikanlah hamba seorang putra yang mengerti makna tawa ceria tanpa melupakan makna tangis duka.
Putera yang berhasrat untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau.
Dan, setelah semua menjadi miliknya...
Berikan dia cukup rasa humor sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya.
Tuhanku...
Berilah ia kerendahan hati...
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki...
Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna...
Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud, hamba, ayahnya, dengan berani berkata "hidupku tidaklah sia-sia"
guys,
Puisi yang ditulis oleh Jenderal Douglas MacArthur tersebut merupakan
sebuah puisi yang luar biasa. Puisi itu adalah sebuah cermin seorang
ayah yang mengharapkan anaknya kelak mampu menjadi manusia yang
ber-Tuhan sekaligus mampu menjadi manusia yang tegar, tidak cengeng,
tidak manja, dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Seperti contoh sepenggal puisi di atas yg berbunyi: "Janganlah pimpin
puteraku di jalan yang mudah dan lunak, tuntunlah dia di jalan yang
penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan." Puisi ini
menunjukkan bahwa sang jenderal sadar tidak ada jalan yang rata untuk
kehidupan sukses yang berkualitas.
Seperti kata mutiara yang tidak bosan saya ucapkan: "Kalau kau lunak
pada diri sendiri, kehidupan akan keras terhadap mu. Namun, kalau kau
keras pada diri sendiri, maka kehidupan akan lunak terhadap mu."
Untuk itu, jangan kompromi atau lunak pada sikap kita yang destruktif,
merusak, dan cenderung melemahkan. Maka, senantiasalah belajar bersikap
tegas dan keras dalam membangun karakter yang konstruktif, membangun,
demi menciptakan kehidupan sukses yang gemilang, hidup penuh
kebahagiaan!!